By.IR Bekti Hermawan Handojo *)

 

Ibarat komputer, otak anak kita jika dihitung berdasarkan “kemampuan membuat pola” atau “tingkat kebebasan berpikir”, serta ditulis dalam bahasa matematika, kemampuan itu sungguh sangat besar. Gambaran kemampuan otak itu adalah ibarat bilangan 105.040.000.000.000 (10 pangkat 5.040 milyar) Kemampuan ini seolah tak terbatas!

Sebagai bukti awal kemampuan otak anak kita, cobalah ajak anak kita untuk membaca kalimat berikut dengan baik dan benar sehingga setiap orang yang mendengarnya bisa memahami maksudnya:

“Jiak kait mempelarija saut lah bura seatip hira, maak ditubuhkan watku sekatir tagi puhlu jatu tahnu untku mengiis peunh merimo atok masianu!”

Saya yakin anak kita bisa membaca kalimat di atas dengan benar tanpa harus diberi tahu bahwa “Jiak” itu adalah “Jika” dan “Kait” itu adalah “Kita”. Canggih bukan otak anak kita? Sayangnya, kemampuan otak sebesar itu setiap hari di sekolah hanya digunakan untuk menghafal, bukan untuk berpikir. Padahal menghafal adalah tingkatan belajar paling rendah dari seorang manusia! Parahnya lagi, pendidikan akhlaq (melalui mapel PAI dan PKN)  yang seharusnya penuh makna dan dinamika harus pula dihafal!

Kemampuan otak yang dahsyat itu seharusnya bisa digunakan untuk memahami pendidikan akhlaq tanpa menghafal pelajaran akhlaq itu sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai “meng-install” akhlaq pada otak anak kita, melalui program pendidikan yang saya sebut Matematika Qurani. Jadi, jika otak anak kita identik dengan hardware komputer, maka Al Quran adalah operating system-nya (OS) dan Matematika Qurani identik dengan anti virus-nya (OS) sehingga komputer dapat bekerja dengan baik. Tanpa OS yang terproteksi anti virus, komputer secanggih apapun takkan bisa bermanfaat optimal selain hanya untuk mengetik bahasa mesin yang aneh!

Matematika Qurani adalah pendidikan akhlaq keluarga Muslim melalui pendekatan matematika. Program pendidikan ini bertujuan ganda, yaitu selain agar prestasi matematika anak di sekolah meningkat, lambat laun diharapkan pula anak semakin cinta pada Al-Quran. Kami menyebutnya: “CINTA QURAN TANPA NYANTRI”

Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah supaya mereka berpikir [QS Al A’raaf:176]

Ceritakan kisah “selembar kertas” berikut. Ambillah 1 lembar kertas HVS A4 70 gram atau kertas buram. Robeklah selembar kertas itu dengan mengikuti langkah-langkah berikut:

  1. 1 lembar kertas dirobek jadi 2 è 2 lembar, 21
  2. Tumpuk robekan 2 lembar kertas tersebut, dirobek lagi maka jadi 4 è 4 lembar, 22
  3. Tumpuk robekan 4 lembar kertas tersebut, dirobek lagi maka jadi 8 è 8 lembar, 23
  4. Tumpuk robekan 8 lembar kertas tersebut, dirobek lagi maka jadi 16 è 16 lembar, 24
  5. Tumpuk robekan 16 lembar kertas tersebut, dirobek lagi maka jadi 32 è 32 lembar, 25

 

Terus robek hingga robekan yang ke 50 [50x], maka jumlah lembar robekan kertas yang kita peroleh adalah: 250 =  1.125.899.906.842.624 lembar. Jika tebal selembar kertas HVS adalah 1/1000 mm, berapa meter-kah jika 1.125.899.906.842.624 lembar robekan kertas itu ditumpuk?

Akhlaq apa yang kita install ke otak anak kita pada kisah “selembar kertas” itu? Apakah anak kita sadar bahwa tumpukan robekan kertas itu lebih tinggi dari gunung Himalaya? Tahukah anak kita bahwa dia bisa menggapai bulan (the moon) jika dia memanjat tumpukan robekan kertas itu? Maha Suci Allah yang telah memberikan akal pada manusia sehingga kita menjadi mahluk yang paling mulia.

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” Ar Ra’d/31:3

Sumber: ISLAMIC SCIENCE MATHEMATICS INSTITUTE [ISMI]

*) Penulis adalah:

  • Direktur Islamic Science & Mathematics Institute (ISMI), Malang.
  • Rekoris MURI Kategori Penemu “Metode Pendidikan Matematika Qurani” tahun 2008
  • Pengarang buku “MATEMATIKA AKHLAQ, Keajaiban Bahasa Bilangan untuk Mendidik Akhlaq Mulia” Penerbit: Kawan Pustaka, Jakarta 2007
  • Pendiri Rumah Akal Foundation, Bogor (RumahAkal.com)

Bacaan kalimat di atas adalah: “Jika kita mempelajari satu hal baru setiap hari, maka dibutuhkan waktu sekitar tiga puluh juta tahun untuk mengisi penuh memori otak manusia”